Seribu Bintang di Langit Lentea (TN Wakatobi Bag. 5)

Kejutan hari ini datang dari mas Mahrun, waktu dia mengatakan bahwa malam ini kami akan bermalam di rumah Pak Hamid di kampung suku daratan di Pulau Lentea, salah satu pulau di gugus kepulauan Kaledupa. Hihuy!


Kaledupa adalah gugus pulau berikutnya setelah Wangi-Wangi di kepulauan Tukang Besi. Perjalanan dari Hoga ke Lentea.. oooh, masya Allah... sungguh bagai Raja Ampat mini! Gugus lime stones, celah-celah sungai, hutan bakau hijau mentereng di bawah siraman cahaya mentari sore yang menjingga, merimbuni gerbang selat-selat sempit dan muara, memanggil-manggil para petualang untuk masuk menyusurinya. Pak Hamid, belok donk paaaak... *kalo gak inget waktu terbatas sih* 



Gak ada satupun kamera yang keluar dari ransel waktu menempuh rute ini, karena kami masih pakai perahu panjang sempit yang sungguh rawan cipratan, kecuali G12-nya Boetje yang di-casing anti air. Cari-cari di fesbuknya, hlaaah, kemana itu album Wakatobi? Dah ndak adaaaaa.... So, qadarullah bener-bener gak ada fotonya. Berarti harus... balik ke sana lagi!

Gegara cari-cari foto di fbnya Boetje, saya jadi jalan ke profilenya Indhi dan menyelinap ke album Wakatobi. Ahaaaa... banyak foto-foto cakep yang saya gak punya, termasuk foto terumbu karang di P. Hoga, dan rombongan lumba-lumba yang munculnya gak pake bilang-bilang itu. Ndhi, pinjem pajang yak potonya di mari. Monggo balik ke postingan sebelum ini, potonya dah saya update.

Note:
Kayaknya waktu kami on the way ke Lentea ini, kamera waterproofnya Indhi bermasalah, jadinya disimpen dan kami ngandelin Boetje deh. #penting
Perahu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah panggung cantik di atas laut yang kaki-kakinya terendam laut dangkal. Aaaaw, seneeeeng... Keren sangat itu rumah! Halaman rumahnya laut lepas, piye? Dan menghadap timur! Meaning, besok pagi sunrise dari teras rumah panggung di atas laut! *silent scream*

Karena perahu tidak bisa tambat persis di depan rumah, kami turun agak di tengah laut yang airnya dangkal mencapai lutut. Lalu berjalan melintas laut dangkal dengan carrier di punggung masing-masing. Naaaaah, Ciwi, teman baru saya yang cantik jelita, bawanya bukan carrier, tapi koper! Ihihiy.. ya udah dibayangin aja ya, gak tega nyeritainnya :D :D :D

Rumah-rumah panggung suku bajo dan suku daratan mirip rumah-rumah panggung di Pagaralam, kampung ayah-mama saya. Cuma bedanya ini di atas laut. Rumah Pak Hamid pun mirip rumah nenek saya. Luaaas, kamarnya banyak, jendela-jendela tinggi, teras lega. Keceh pokoknya.

Kami langsung berhamburan berkeliling dan milih-milih mau tidur di kamar yang mana, karena semuanya available!

Seperti di semua desa lainnya, air tawar tersedia terbatas. Penduduk mengambil air tawar ke pompa air yang disediakan. Hilir mudik perahu mereka membawa jeriken-jeriken raksasa, lewat di bawah rumah. Pompa air ini beroperasi sesuai menyalanya generator pembangkit listrik, yang hanya menyala hingga jam 9 malam saja. Kami mandi menggunakan air tersebut, seirit mungkin. Sebagai bolang profesional, alhamdulillah kami terlatih untuk bisa sikat gigi plus sabunan plus shampo-an hanya dengan menghabiskan air seember saja, ukuran reguler :)

Kelar mandi, harum semerbak meruap dari dapur. Istri pak Hamid dibantu 2 rekannya lagi masak buat kami. Masya Allah, rupanya tomat yang kami petik di perjalanan tadi diolah jadi sambal tomat dadak yang lezaaat.. alhamdulillah. Kami makan ramai-ramai di tikar panjang. Dengan noraknya gak ada yang ambil nasi, ngambilnya kasuami. Hihihi.. beneran deh, efek Mirror Never Lies.

Kasuami ini adalah makanan grassrootnya masyarakat Bajo. Terbuat dari singkong yang dipadatkan dan dikukus lama, hingga tahan untuk bekal melaut para nelayan. Udah aja gak dikasih bumbu, jadi rasanya tawar, padat berbungkal-bungkal, sebagai pengganti nasi. Kami makannya pakai lauk sayur tumis, ikang goreng dan sambal nan lezat. Sambil berusaha menjiwai gimana jadi nelayan yang lagi berjuang mencari nafkah di tengah laut, lalu makan kasuami di bawah bulan dan bintang. Haish.

Wakatobi 004
Briefing seusai makan, membahas itinerary esok pagi. Pak Hamid berjanji untuk membawa kami ke spot terumbu karang yang luas dan indah dan belum tersentuh pengunjung. Waaah. Slurrpp..

Sambil ngupi dan ngeteh, Pak Hamid bercerita tentang kisah cintanya dengan Bu Hamid. Ahahahaa, seruuuu.. Mereka bertemu di negeri jiran Malaysia. Sama-sama mengais rejeki di sana. Tidak memperoleh restu orangtua, mereka keukeuh menikah, happy ending akhirnya. Sekarang hidup bahagia di Lentea, uhuhu, alhamdulillaah.

Malam makin larut, bintang semakin bermunculan. Saatnya nonton bioskop bintang di teras rumah. Dah jejer di kursi menghadap laut, kaki naik ke papan balkon. Samudera dan langit tanpa batas di hadapan mata. Bintang keluar satu persatu, dari sedikit hingga makin banyak dan makin banyak. Lalu berusaha motret tapi gagal, haha. Jam 9 persis, generator listrik mati dan semua gelap pekat. Maka kilau bintang pun makin gemintang. Cahaya bulan jatuh memantul di laut yang melambai tenang. Allahu akbar. Allah Arrahman Arrahim.

To be Continued

Next:
Pagi di Lentea



Comments